Mungkin Suatu Waktu Warga Bogor Pagi Makan Burger, Siang Donat, Malam Pizza

Pagi-pagi makan burger? Ngaco! Mana mungkin? 

Orang Indonesia itu tidak akan bisa lepas dari nasi. Ada sebuah ungkapan tentang orang Indonesia kalau “mereka belum makan, sebelum makan nasi”, meskipun mereka sudah makan lontong, atau ketupat sayur.

Sepertinya memang tidak mungkin terjadi ya?

Bagaimana kalau kita perhatikan beberapa hal yang sudah menjadi sesuatu yang umum di Bogor sejenak.

Sarapan apa Anda di pagi hari? Roti? Atau nasi dengan telur dadar atau ceplok? Mungkin Indomie atau Supermie? Lalu mengapa gerai Roti-O di stasiun Bogor dan Cilebut begitu ramai dengan pengunjung di pagi hari ya?

Untuk siangnya, rasanya tidak perlu dipertanyakan lagi. Outlet-outlet restoran fast food, seperti Burger King, McDonalds, Dunkin Donuts, dan lain sebagainya, tidak pernah sepi. Tidak jarang di hari libur bahkan untuk sekedar membeli sebuah cheeseburger di Mc D saja harus menunggu dalam antrian yang panjang.

Di malam harinya, terutama di hari libur, mendapatkan tempat duduk di Pizza Hut saja seperti menunggu antrian tiket Commuter Line saja. Waiting list-nya selalu lumayan panjang.

Tidak kah hal-hal seperti itu menunjukkan sesuatu kepada kita?

Perubahan Selera Warga Bogor

Makan Burger - Kentang Burger King

Mungkin Anda terprovokasi dengan judulnya. Kalau memang demikian, saya SENANG. Berarti judul tulisan ini berhasil melaksanakan tugasnya, yaitu memancing pembaca. Good job!

Kembali ke topik.

Gambaran betapa makanan siap saji atau bentuk-bentuk kuliner modern lainnya sudah merasuk sangat dalam ke kehidupan di Kota Hujan ini, sebenarnya sudah sangat terlihat pada sikap anak-anak dan remajanya.

Mereka lebih menginginkan dan menikmati makan burger dibandingkan harus mengunyah toge goreng atau laksa. Anak saya pun termasuk diantaranya. Perhatikan saja, kemana mereka ingin dibawa ketika diajak berkuliner.

Pernahkah, terutama para ABG meminta untuk diperkenalkan dengan laksa, kuliner tradisional khas Bogor. Kemungkinan besar (sekali) tidak mungkin. Kalaupun dipaksa, hasilnya rengutan akan ditampilkan di wajah.

Memang nasi, dan makanan Indonesia lainnya memang masih menjadi menu utama dalam keseharian. Tetapi, jangan dilupakan bahwa selera itu bisa berubah dan memang sepertinya perubahan tersebut sedang dan sudah terjadi.

Itulah mengapa pada judul di atas terdapat dua kata “suatu waktu” yang menunjukkan kemungkinan di masa yang akan datang. Bukan tentang saat ini.

Berapa lama batasan “suatu waktu” tersebut adalah sesuatu yang sulit dijawab. Perubahan budaya dan cara hidup sulit untuk diukur secara pasti. Mungkin 5-6 tahun lagi, mungkin pula 10-15 tahun lagi.

Dugaan, hanya dugaan, atau kalau mau disebut prediksi boleh juga, perubahan selera atau pola makan akan semakin terasa 10 tahun dari sekarang. Kesukaan terhadap makanan modern tersebut akan semakin kental dan terlihat di masyarakat saat itu.

Dunkin Donuts Bogor
Donat Modern

Penyebab perubahan selera makan

Yah, Memang ini adalah masalah selera. Setiap orang akan berbeda satu dengan yang lainnya.

Lucunya, selera manusia itu tidaklah seperti apa yang orang yakini, selalu sama. Indra pengecap manusia mengalami perubahan, menyesuaikan dengan usia, beradaptasi dengan lingkungan dan masih banyak faktor lainnya.

Kalau tidak percaya tentang hal ini, cobalah Anda rasakan bubur yang Anda makan saat masih kecil dahulu, apakah Anda masih bisa menikmatinya hingga saat ini. Lagi-lagi kemungkinan besar jawabannya adalah TIDAK. Dalam huruf besar.

Itulah yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat Bogor. Terjadi perubahan dalam hal ragam makanan yang dianggap sebagai ‘enak’ dan ‘tidak enak’.

Perubahan ini tergantung pada banyak hal.

Kemapanan/daya beli. Ketika kita masih ‘kere‘ alias tidak punya uang, sarapan dengan telur ceplok rasanya sudah cukup. Yang penting perut terisi dan kenyang.

Begitu punya uang lebih, timbul keinginan agar bisa meniru seperti yang terlihat di layar televisi, makan di hotel dengan sarapan ala Barat. Roti, sosis dan juga omelet akan terasa lebih cocok dan bergaya.

Pendidikan yang semakin tinggi. Semakin banyak pengetahuan, semakin banyak pula informasi yang terekam. Informasi bahwa sate padang sangat banyak mengandung kalori dan dijajakan di tempat yang kurang bersih menambah bahan pertimbangan sebelum kita dalam memilih makanan yang kita makan.

Kebanyakan makanan tradisional diolah dengan cara lama dan cara lama itu seringkali dianggap kurang higienis dibandingkan masa sekarang.

Hasilnya, pengetahuan tentang kesehatan dan kebersihan makanan akan justru mendorong untuk menjauhi yang ‘tradisional’, karena dianggap kurang sehat.

Makan Burger

Iklan yang bertubi-tubi. Kelebihan dari Mc Donald, J. Co dibandingkan dengan Laksa Mang Wahyu lainnya adalah dana promosi.

Berjuta-juta bahkan bermilyar rupiah dianggarkan untuk menanamkan image bahwa makan burger itu ‘cool’, ‘kekinian’. Penampilan artis cantik dan aktor ganteng membuat terpaku.

Ujungnya, rasa ingin mencoba, mencoba dan mencoba akan timbul dalam hati penonton iklan. Keinginan untuk menyamakan diri dengan tokoh-tokoh tenar akan menjadi dorongan tersendiri.

Makan burger bukan hanya enak dan membuat kenyang, itu bisa “membuat” yang makan menjadi “seperti” artis yang mengiklankannya. Menikmati pizza bisa membuatmu senge-tren aktor gantengnya. Tidak masalah kalaupun akhirnya diketahui mereka tidak lagi makan burger atau pizza.

Sesuatu yang tidak mungkin diimbangi oleh Mang Wahyu Penjual Laksa Gang Aut yang bahkan untuk menyewa lokasi tempat berdagang yang lebih baik saja tidak bisa.

Perubahan pola hidup, Dulu, saat Bogor masih ‘sepi’ dalam artian jalanan belum macet seperti sekarang, warga Bogor masih bisa berangkat dari rumah agak siang ke tempat beraktifitas.

Sekarang, terlambat 10 menit saja bisa berarti sampai ke kantor terlambat hingga 30 menit-1 jam karena terjebak kemacetan dimana-mana.

Mau tidak mau, warga Bogor harus berangkat lebih pagi dari biasanya dan seringkali berarti harus melewatkan waktu yang dulunya dipakai untuk makan pagi.

Masalahnya, makan pagi adalah waktu mengisi perut terpenting dalam sehari, tanpa adanya sesuatu yang memberikan energi di pagi hari, seringkali kelesuan akan hinggap saat bekerja atau belajar.

Pemecahannya adalah mencari sesuatu yang praktis, tidak memakan waktu untuk menyiapkannya dan bisa dimakan sambil menuju ke tempat kerja atau sekolah.

Tidak ayal lagi, roti menjadi pilihan yang sangat umum. Praktis. Mengenyangkan. Bisa dibeli dalam perjalanan. Yang pasti juga tidak seberapa mahal. Nasi menjadi tergeser karena membutuhkan waktu, meski sudah ada magic jar atau rice cooker, untuk menyiapkannya.

Tidak terasa lama kelamaan yang dulunya dianggap sebagai cemilan atau makanan tambahan mulai menjadi pilihan utama di pagi hari.

Masih ditambah dengan kesibukan di kantor yang kadang tidak menyisakan waktu terlalu banyak. Tidak jarang kegiatan mengisi ulang perut harus dilakukan di meja kerja atau selama bersekolah. Dan, lagi-lagi, sesuatu yang praktis tetapi mengenyangkan, seperti roti , burger akan mendapat lirikan pertama dibandingkan yang ruwet dan rumit seperti nasi dan lauk pauknya.

Tidak terasa semua ini merubah pola hidup masyarakat Bogor secara perlahan tetapi PASTI.

Burger King Bogor

Gaya Hidup/Trend. Makanan apa yang sedang ‘happening’ di Bogor? Sebuah pertanyaan sederhana tetapi dalam maknanya.

Makanan sekarang sama dengan pakaian, semua ada musim dan trendnya. Ketika Sop Buah baru muncul semua belomba-lomba mencari dimana penjual sop buah. Penjual sop buah pun menjamur dimana-mana.

Saat Pizza Bakar sedang ‘in’, Kedai Kita di Bogor padat dan ramai karena semua orang ingin masuk dalam golongan yang pernah merasakan pizza yang dipanggang dengan kayu bakar.

Kegiatan makan memakan pun ujungnya menjadi sebuah kegiatan yang ditujukan untuk mendapatkan kesenangan dan bukan sekedar untuk mengisi perut. Juga, menjadi sarana masuk dalam sebuah “kalangan” tertentu.

Untuk itu dilahirkan sebuah istilah baru, yaitu ‘wisata kuliner’, usaha pencarian kesenangan lewat makanan. Semakin unik makanan, semakin tinggi pamornya, baik yang menjual maupun yang makannya.

Makan burger pernah menjadi tren ketika outlet pertama Mc Donald berdiri. Saat ini, sudah tidak menjadi tren. Makan roti lapis berisi potongan daging asap dan sayuran ini sudah menjadi sesuatu yang umum dan biasa, bahkan mulai masuk tahap rutin dilakukan.

Gaya hidup masyarakat Bogor sudah sangat jauh berubah dibandingkan dengan 20-30 tahun yang lalu.

Kalau dulu, anak muda nongkrong di ujung gang sambil bermain gitar, di masa sekarang, pandangan heran nan sinis akan terlontar melihat mereka yang melakukan itu. TIDAK KEREN! NOT COOL! ORANG KERE!

Yang keren itu, kalau nongkrong di STARBUCk, sambil maen iPHONE, cerita pengalaman wisata di PARIS (jarang yang piknik ke PAPUA NUGINI). Bisa juga di J.CO sambil ngobrolin kegantengan LEE MIN HO (benar tidak tulisannya?).

Intinya, gaya hidup metropolitan juga sudah merasuki penduduk di kota yang dulunya merupakan kampung ini. Warganya juga tak mau kalah untuk menjadi bagian ‘masyarakat Internasional‘ . Salah satu cara yang dipilihnya adalah tentang apa, bagaimana dan dimana cara makannya. Kalau tidak sesuai dengan masyarakat luar negeri, maka berarti belum bisa dikategorikan sebagai ‘internsional’.

Gerai J. Co di Bogor

Adakah yang salah dengan makan burger untuk sarapan, donat untuk lunch, pizza untuk dinner?

Maaf, bahasanya sudah campur aduk. Rupanya, saya juga terkenal virus internsionalisasi. Memang sengaja dibuat demikian untuk mengatakan bahwa itulah masyarakat Bogor saat ini.

Percampuran antara budaya Barat, Timur, Tengah. Selatan ada. Bule, Kuning, Hitam, Coklat semua tercampur menjadi sebuah paduan.

Lalu, salahkah semua ini? Mengapa kita tidak tetap makan nasi sepanjang hari, atau siangnya makan laksa dan toge goreng saja ? Supaya budaya menanam padi dan penjual makanan tradisional tetap bisa makmur.

Vox Populi Vox Dei. Itu kata filsuf Alcuin Of York tahun 798. Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan.

Bukan hanya pemilu saja yang menggunakan pepatah ini. Justru dalam hal ‘makan memakan’ alias urusan selera, ungkapan ini lebih tepat.

Kalau memang warga Bogor menyukai makan burger sebagai sarapan, atau lunch (makan siang), atau dinner/supper (makan malam) dengan sushi, lalu masalahnya dimana?

Tidak ada keharusan harus seragam dalam hal cita rasa. Manusia bebas menentukan pilihannya dan kalau mereka menyukainya, tidak ada yang bisa disalahkan atau dijadikan kambing hitam.

Semua sah-sah saja. Meskipun, untuk itu ada doclang, laksa, kupat tahu dan lain-lain harus tersingkir dan terbenam. Tetap, tidak ada, bahkan tidak perlu ada, salah menyalahkan. Itu yang dikehendaki oleh mayoritas orang.

Itu adalah kodrat alami bahwa sesuatu yang dianggap kuno dan tidak sesuai kemauan akan tersingkir digantikan oleh yang baru. Dari zaman ke zaman semua ini terjadi.

Kalau memang laksa dan toge goreng mau bersaing, maka mereka pun harus dijadikan bagian dari masyarakat makanan internasional. Dengan begitu, maka semua tidak akan merasa kampungan kalau harus makan jenis masakan ini.

Selama itu belum bisa terwujudkan, maka perlahan tetapi pasti, suatu waktu warga Bogor makan burger untuk sarapan, menngunyah pizza di siang hari, dan menelan steik di malam hari. Temannya, bisa cappucino, latte, ice lemon tea, espresso.

Lalu kemana laksa, toge goreng, doclang? Masukkan ke dalam buku sejarah saja. Setidaknya akan tetap ada yang melihat dan mempelajarinya.

Nah, begitulah kira-kira kawan pembaca opini, atau prediksi dari saya tentang pola makan warga Bogor di masa yang akan datang. Kapan itu terjadi, belum tahu. Bagaimana kalau kita sedikit bersabar. Kalau diberi umur panjang, mudah-mudahan 10 tahun dari sekarang akan ada sebuah tulisan lagi di Lovely Bogor tentang hal ini.

Tolong tunggu ya?

Mari Berbagi

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.