Mode Auto Kamera? Lupakan !

Sungguh. Saya akan menyarankan ini kepada Anda. Hentikan pemakaian Mode Auto kamera anda.

Tentu, saran ini tidak berlaku bila Anda seorang profesional atau sudah bergelar ahli dalam menggunakan kamera. Masukan ini saya sampaikan bila Anda masih seperti saya, seorang pemula yang sedang mencoba mendalami dunia mengabadikan momen ini.

Mungkin Anda akan mengernyitkan dahi dan mengatakan bahwa hal ini adalah sesuatu yang BODOH atau ANEH. Tidak heran bila itu reaksi yang keluar. Sangat bisa dimengerti dan dimaklumi.

Mode Auto Kamera dibuat berdasarkan pemikiran untuk mempermudah siapapun memotret yang diinginkan. Fitur ini adalah fitur terbaik yang pernah dibuat oleh para produsen kamera. Fotografi atau memotret tidak lagi sesuatu yang sulit, yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang mendalami fotografi atau fotografer.

Dengan adanya Mode Auto, bahkan seorang anak kecil pun bisa mengambil foto dengan mudah. Seorang yang tidak tahu beda antara Aperture, Speed, dan ISO pun bisa menghasilkan sebuah foto yang indah dan menarik. Seorang ibu rumah tangga yang terbiasa mengulek sambel bisa tiba-tiba menjadi fotografer dadakan yang mengoperasikan kamera mirrorless Fuji XT-10.

Semuanya menjadi mungkin. Siapapun akan bisa mengoperasikan kamera jenis apapun karena Mode Auto Kamera terdapat di semua jenis kamera keluaran masa kini.

Bisa dikata, semua orang bisa menjadi fotografer dengan adanya fitur AUTO atau sejenisnya ini.

Jadi, mengapa sesuatu YANG MUDAH HARUS DIPERSULIT? Sangat tidak bisa diterima. Sangat tidak kekinian. KUNO.

Mengapa Pemakaian Mode Auto Kamera Harus Dilupakan?

Mode Auto Kamera
Pasar Anyar, Bogor 2016

Saya menyadari hal tersebut. Sangat menyadari malah. Mode Auto pada Fuji Finepix HS35EXR yang menjadi teman berburu foto selama ini memiliki berbagai opsi fitur yang teramat sangat membantu dalam menghasilkan foto bagi blog ini.

Fitur-fitur itu membuat saya bisa menghasilkan foto saat malam hari, siang hari, close up, memotret pemandangan dan lain sebagainya. Hidup saya dipermudah sekali. Menu ini merupakan andalan selama kurang lebih satu tahun.

Hal yang tidak akan dibantah. Semua memang seperti itu.

Tetapi.

Ada satu sisi BURUK dari pemakaian Auto Mode pada kamera apapun. Apalagi bila ditambahkan dengan begitu banyaknya pilihan perangkat lunak untuk mengedit foto.

Semua menjadi mudah!Terlalu mudah!

Sebegitu mudahnya sehingga seringkali menjebak kita masuk ke dalam sebuah Zona Nyaman. Sebuah zona dimana kita terlena pada berbagai kemudahan yang disediakan. Sebuah zona yang pada akhirnya memerangkap kita pada kemalasan.

Sebegitu malasnya sehingga kita seringkali menerima apa adanya yang keluar dari kamera. Tidak ada protes, tidak ada usaha untuk mempertanyakan “mengapa begini”, “mengapa begitu”. Semua ditelan saja.

Sayangnya, bila Anda, seperti saya, masih pemula dalam dunia fotografi, sikap seperti ini sangat “membahayakan”.

Seorang pemula, dimanapun, akan dituntut untuk belajar dan belajar. Semuanya bukan untuk orang lain, tetapi untuk kemajuan dirinya sendiri. Apalagi, bila Anda mentargetkan diri untuk menjadi seorang fotografer profesional. Terjebak dalam kebiasaan untuk bergantung pada Mode Auto Kamera sangatlah tidak mendukung usaha tersebut.

Tidak ada orang yang bisa maju ketika tenggelam dalam zona kemalasan.

Mode Auto Kamera
Pasar Anyar, 2016

Kelemahan Mode Auto Kamera

Mudah? Sangat. Sederhana untuk dipergunakan? Jelas. Banyak pilihan opsi? Sudah pasti. Finepix HS35EXR yang hanya merupakan “bridge camera” saja memiliki fitur Landscape, Night Scene, Macro dan lain sebagainya.

Hanya, Mode Auto juga memiliki kelemahan.

Kelemahan yang paling utama dan mendasar adalah sebuah kenyataan bahwa kamera itu hanyalah sebuah alat. Sebuah alat yang diciptakan dan diproduksi oleh pihak pabrikan berdasarkan nilai-nilai dan standar yang mereka tetapkan.

Tentu saja, sudah pasti pabrik pembuat sudah melakukan survey terhadap apa yang “kemungkinan” dibutuhkan pelanggan sebelum menetapkan standar tertentu. Mereka memperhitungkan berbagai variable berdasarkan analisis data yang dikumpulkan.

Standar inilah yang kemudian diterjemahkan dalam sebuah fitur, yaitu Mode Auto pada kamera. Mode ini mewakili nilai-nilai ideal sebuah foto (dalam berbagai kondisi berdasarkan perhitungan sang produsen).

Semua orang dianggap sama.

Padahal dalam kenyataannya, manusia itu berbeda. Tidak pernah ada yang sama, baik dalam bentuk fisik maupun mentalnya. Kebutuhan dan keinginan tiap orang berbeda. Karena pemakai kamera adalah manusia, secara otomatis kebutuhan mereka akan berbeda juga. Ini tidak akan bisa dipenuhi hanya oleh sebuah fitur auto.

Banyak orang menginginkan foto yang berlatar belakang lembut. Ada yang ingin fokusnya agak gelap. Tidak jarang yang menginginkan warnanya kuat. Tidak mungkin produsen memikirkan keperluan dan keinginan setiap orang satu persatu.

Auto Mode dan berbagai opsinya tidak bisa memenuhi keinginan semua orang dan memang tidak ditujukan untuk itu. Fitur ini disediakan hanya untuk mereka yang tidak mau repot dan ingin praktis saja.

Itulah kelemahannya. Mode Auto Kamera tidak dibuat untuk memenuhi keinginan Anda, si pemakai kamera. Mode ini diadakan untuk mengikuti kemauan atau standar yang ditetapkan oleh sang pembuat kamera.

Itulah kelemahannya.

Pernahkah kita melihat foto yang dihasilkan agak terlalu terang kalau memakai Auto Mode? Atau agak gelap? Atau ketika setting Macro yang dipakai, backgroundnya tetap saja kurang memuaskan?

Saya rasa jawabnya PERNAH. Sering bahkan. Saya sering mengalaminya.

Hal ini terjadi karena NILAI IDEAL yang kita inginkan tidak tercapai. Keinginan kita terhadap hasil foto tidak selaras dengan standar yang dibuat pihak produsen.

Bukan salah produsen. Ini hanya karena kenyataannya memang tidak mungkin sebuah kamera diciptakan untuk membuat semua orang puas. Hal itu bisa dikata mission impossible. Tidak akan pernah ada.

Hal ini pun sudah pasti disadari oleh para pembuat kamera. Untuk itulah mayoritas tetap menyediakan beberapa fitur alternatif, seperti P Mode, S Mode, A Mode, yang masing-masing bisa dikata memberikan opsi semi auto. Opsi lainnya adalah M Mode alias Manual.

Kesemua opsi ini disediakan untuk mereka yang tidak puas dengan standar yang sudah mereka tetapkan bagi Auto Mode pada kamera yang mereka produksi.

Opsi-opsi yang saya akan sarankan pada Anda, jika ingin berniat mempelajari lebih dalam tentang bagaimana menghasilkan foto yang bagus. Untuk Anda yang ingin lebih maju dalam dunia fotografi. Untuk Anda yang berkeinginan untuk menjadi fotografer handal.

Fitur-fitur ini akan menarik dan mendorong Anda untuk keluar dari zona nyaman yang dibuat oleh sang AUTO.

Mode Apa Yang Terbaik Untuk Pemula (Seperti Saya) ?

Mode Auto Kamera
Rumah Anggrek, Kebun Raya Bogor, 2016

Kalau memang Mode Auto bisa menyebabkan kita terjebak dalam Zona Nyaman, lalu mode apa yang terbaik untuk pemula pergunakan?

Jawabannya akan tergantung pada karakter dan individu. Selama bukan mode auto yang dipergunakan akan baik. Hanya, saya memilih untuk memakai M Mode alias Manual Mode.

Gila ? Memang. Di tengah dunia modern yang serba praktis dan semua dipermudah ini, menggunakan M Mode atau Manual Mode seperti membawa kembali ke masa lampau. Ke masa dimana semua fotografer atau pemegang kamera harus menduga, berpikir, berhitung dan memilih sebelum menekan tombol “shutter release”.

Tidak praktis. Rumit. Sulit. Memusingkan.

Jelas.

Membutuhkan pengorbanan? PASTI. Ratusan bahkan ribuan foto akan terbuang, entah karena menjadi hitam karena salah mengatur Shutter Speed terlalu cepat. Bisa juga menjadi putih terang benderang tanpa warna lain karena paduan pemilihan ISO terlalu tinggi dan Shutter Speed yang terlalu lama.

Semua bisa terjadi dan sudah pasti akan terjadi ketika seorang pemula menggunakan M Mode.

Berterima kasihlah pada para penemu foto/kamera digital. Meskipun ratusan atau ribuan foto akan terbuang, hampir tidak ada uang yang harus Anda keluarkan. Cukup dengan melakukan sortir pada komputer dan kemudian menekan tombol delete untuk menghapus foto yang dianggap tidak memenuhi kriteria.

Paling yang terbuang adalah waktu Anda.

Menyebalkan. Tentu saja akan tetap ada rasa sebal dan bete untuk mengalami semua ini. Waktu seperti terbuang percuma tanpa hasil.

Tetapi, kita bisa mengingat kembali ketika pertama kali kita belajar menulis. Berapa lembar kertas harus terbuang untuk huruf-huruf yang tidak bisa terbaca? Berapa kali kita harus mengulang menulis huruf A agar bisa dibaca oleh orang lain? Bisa dikata puluhan kali. Sulit untuk menghitung jumlah lembar kertas yang terpakai hanya untuk hal yang sekarang terlihat sangat mudah itu.

Begitu pula halnya dengan fotografi.

Penggunaan M Mode alias manual memaksa kita untuk belajar. Belajar dan belajar. Akan banyak sekali kesalahan dilakukan. Akan banyak waktu yang seperti terbuang percuma tanpa hasil. Semua pada kenyataannya adalah sebuah proses yang harus dijalani untuk melangkah lebih maju lagi. Tidak ada proses belajar yang tidak memerlukan pengorbanan ataupun perjuangan.

Proses ini tidak akan didapatkan dengan hanya sekedar memakai Mode Auto yang tersedia. Ini adalah sebuah cara instan untuk mendapatkan “hasil”.

Kita tidak akan dipaksa untuk mengerti mengapa sebuah foto terasa gelap atau terang atau bahkan blur/samar. Kita hanya akan menerima sebuah hasil dari pemikiran orang lain. Tidak ada desakan untuk berjuang dan belajar tentang apa itu aperture, shutter, atau ISO. Kita tidak dipacu untuk mengerti apa itu tehnik “Bokeh” atau “Panning” dalam fotografi.

Dengan mematikan Mode Auto pada kamera dan beralih untuk berpikir secara kreatif untuk menemukan pemecahan masalah. Tidak tergantung pada standar yang ditetapkan orang lain.

Proses belajar ini tidak akan pernah instan. Proses ini akan membutuhkan waktu dan selama itu akan banyak sekali kesalahan yang dibuat berulangkali. Sebuah kenyataan yang akan selalu mengiringi proses belajar.

Tidak bisa dihindari dan harus diterima.

Mode Auto Kamera
Kebun raya Bogor, 2016

Percayalah. Semua itu akan terbayar di kemudian hari.

Berapa lama waktu yang diperluikan hingga hasil memuaskan pertama keluar akan tergantung pada seberapa keras usaha kita belajar dan berusaha. Satu bulan, dua bulan, tiga bulan atau setahun?  Semua akan tergantung pada seberapa keras kita belajar dan berusaha. Tidak akan sama untuk semua orang. Yang pasti, hasil itu suatu waktu akan muncul.

Proses belajar akan paralel dengan waktu yang diluangkan untuk berlatih. Sejalan dengan usaha menambah pengetahuan tentang tehnik fotografi yang baik. Semua ini akan membantu mempercepat keberhasilan dan pencapaian target kita.

Mengutip dari Henri Cartier Bresson, si pelopor “street photography” atau fotografi jalanan

“Your first 10000 photos are your worst”

Sepuluh ribu foto pertamamu adalah yang terburuk.

Kutipan tersebut bisa dipandang secara negatif atau positif. Dari sisi negatif akan terlihat bahwa proses tersebut akan memakan waktu cukup lama. Hanya, saya lebih suka memandang dari sisi positif, bahwa suatu waktu akan ada hasil dari proses belajar yang kita jalani.

Ketika hasil “memuaskan” pertama keluar, disitu akan terbit rasa bangga dan puas. Sebuah perasaan yang timbul ketika kita lepas dari ketergantungan terhadap hasil pemikiran orang lain. Bangga ketika hasil yang keluar dari kamera berasal dari pemikiran kita sendiri.

Bukan hanya itu, setelah semua itu dilalui, secara tidak disadari ada banyak hal lain yang kita miliki

  • Pengetahuan tentang tehnik fotografi yang tidak akan pernah kita kuasai kalau memakai Mode Auto
  • Kita akan menjadi lebih kreatif
  • Kita memiliki lebih banyak opsi dalam menghasilkan foto. Bila kita sudah bisa memotret dengan Manual Mode, maka secara otomatis kita juga menguasai berbagai fitur lainnya seperti Aperture Priority, Shutter Priority dan juga Mode Auto atau mode otomatis sendiri

Apakah setelah proses belajar ini selesai kita berarti kita harus selalu memakai Mode M alias manual? Itu akan terserah Anda. Mode Auto pada kamera tetaplah berguna, sangat berguna malah. Dalam banyak waktu terutama yang membutuhkan kecepatan reaksi footgrafer, mode ini dibutuhkan.

Jadi, tidak berarti tidak boleh dipakai. Hanya lupakan sejenak kebiasaan memakai sesuatu yang instan dan otomatis untuk mendapatkan “sesuatu yang lebih”, yaitu pengetahuan, tehnik dan juga skill. Sesuatu yang akan sangat dibutuhkan untuk melangkah maju.

Buktinya?

Ada 5 buah foto di artikel ini. Kesemuanya dipotret memakai Manual Mode. Bagaimana menurut Anda? Bagi saya sendiri, tidak pernah terbayangkan bahwa saya bisa menghasilkan foto-foto seperti ini dengan M Mode sebelumnya.

Sudah sejak beberapa bulan terakhir, saya memutuskan untuk sama sekali tidak memakai mode otomatis untuk memotret. Bahkan dalam keadaan yang membutuhkan reaksi cepat seperti ketika memotret Cap Go Meh Bogor 2016 yang lalu, saya tetap memaksa memakai M Mode.

Silakan simak salah satunya : Cap Go Meh Bogor 2016 : Yang Cantik Di Jalan

Bisa dilihat bahwa saya harus memotret banyak sekali obyek bergerak. Penggunaan Mode Auto disana seharusnya akan mempermudah, tetapi saya memutuskan sebaliknya. Konsisten dengan memakai mode manual. Hasilnya? Bisa dilihat sendiri dalam 6 artikel tentang festival tersebut.

Memang bukan foto-foto yang akan membuat saya tenar sebagai fotografer ahli. Tidak akan membuat saya kebanjiran uang. Meskipun demikian, semua foto ini menunjukkan perkembangan yang sudah didapat selama mematikan Mode Auto Kamera.

Itulah saran dari saya kepada Anda, bila Anda sama seperti saya, masih sebagai pemula dalam fotografi. Lupakan sejenak mode otomatis dan nikmati sensasi perjalanan dengan Manual Mode. It is not so bad.

Bersedia mencoba? Atau mau tetap bergantung pada standar yang ditetapkan orang lain? Itu adalah pilihan Anda.

Mari Berbagi

2 thoughts on “Mode Auto Kamera? Lupakan !”

  1. Saya termasuk pengguna mode auto garis keras mas 😀
    Tipikal yang suka instan ya, tidak mau mengerutkan kening “hanya” untuk memoto. Istri pernah ikut kelas fotografi, suka protes keras dgn mazhab saya 😀

    Reply

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.